Kalimat-kalimat yang tak terlalu langsung, banyak sekali dipakai dalam bahasa Jawa. Di dalam masyarakat Jawa, terutama yang tradisional, dianggap baik kalau seseorang itu tanggap ing sasmita (pandai memahami isyarat atau pertanda).[1]
Tingkat tutur Bahasa Jawa ada 3, yang dibagi lagi menjadi 3 sub-tingkat untuk tiap tingkat (urut dari paling tinggi ke paling rendah):[1]
- Krama
- Muda krama
- Kramantara
- Wreda krama
- Madya
- Madya krama
- Madyantara
- Madya ngoko
- Ngoko
- Basa antya
- Antya basa
- Ngoko lugu
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 (orang pertama) terhadap O2 (orang kedua). Jadi, untuk seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang, tingkat ngoko inilah yang seharusnya dipakai. Orang yang sedang marah, kesakitan, dan dalam keadaan lain yang mengandung emosi tinggi, biasanya juga bercakap dengan ngoko.[1]
Untuk setiap konsep yang dapat dikatakan/diterjemahkan dalam bahasa Jawa, tentu ada kata ngokonya. Ngoko adalah dasar dari semua leksikon. Dalam tingkat tutur yang mana pun, kata-kata ngoko ini mesti terpakai apabila kata-kata itu tidak mempunyai padanan dalam krama, madya, krama inggil (meninggikan O2) atau krama andap (merendahkan O1). Leksikon krama inggil atau krama andap tidak berfungsi membentuk tingkat tutur tersendiri, melainkan hanya memberikan variasi kepada tingkat tutur yang telah ada.[1]
Jumlah kata-kata krama ada kira-kira 850. Ada kata krama yang bentuknya sama sekali lain dengan padanan ngokonya. Ada kata-kata krama yang bentuknya agak menyerupai bentuk ngokonya, antara lain menggunakan bentuk akhiran -os, -nten, -bet, -won, -jeng, -ntun; mengganti vokal dengan i; atau mengganti rangkaian vokal dengan e dan a. Apa yang sekarang dianggap krama, mungkin bukan lagi krama beberapa tahun yang akan datang. Apa yang dianggap substandar sekarang, mungkin standar pada beberapa tahun yang akan datang.[1]
Nama tempat seharusnya tidak boleh dibuat krama. Tetapi sering ada orang yang mengubahnya menjadi krama apabila ia bercakap dalam tingkat tutur krama. Dengan sendirinya bentuk krama untuk nama-nama tempat ini dianggap keliru oleh golongan orang terdidik dan priayi. Contoh nama-nama kota yang dikramakan ini ialah Semawis untuk Semarang, Wanasantun untuk Wanasari.[1]
Sumber:
- Soepomo Poedjosoedarmo dkk. 2013. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.